Selasa, 27 Maret 2012

ipu 6;Sejarah Transportasi Jakarta : Mencari Solusi Alternatif Permasalahan Transportasi Ibu Kota

Jakarta kota metropolitan terbesar dan terpadat di Asia Tenggara. Kota yang dihuni oleh sekitar 8 juta jiwa penduduknya dengan segala permasalahan dan kesemerawutannya. Kota dengan sejarah masa lalu yang kompleks dan kondisi sosial budaya yang sangat beragam tentu dengan sederet permasalahannya. Salah satu masalah yang cukup krusial dan penting adalah masalah transportasi kota. Selama ini Jakarta dikenal sebagai metropolitan terburuk dalam mengatur transportasi warganya yang mencapai 8 juta jiwa. Kemacetan selalu terjadi dimana-mana. Bahkan menurut situs ensiklopedia terkenal, Wikipedia, Jakarta memiliki lebih dari 100 titik rawan kemacetan yang tersebar merata diseluruh wilayah kota. Fasilitas dan Infrastrukur transportasi yang kurang menjadi salah satu penyebab utama terjadinya kemacetan tersebut. Jakarta belum mempunyai sistem serta infrasturktur transportasi massal yang terpadu. Transportasi yang bisa melayani kebutuhan perpindahan warganya dengan cepat, aman, murah, nyaman dan massal. Disamping itu keberadaan kantong-kantong penduduk di kota-kota satelit Jakarta yang setiap harinya melakukan perjalanan menuju Jakarta ikut memperparah keruwetan transportasi di kota Jakarta. Komuter yang berasal dari Depok, Tanggerang, Bogor serta Bekasi tersebut semakin menambah arus kendaraan di dalam kota Jakarta yang sudah sedemikian padat. Sebagai akibatnya, kemacetan yang parah tak terhindarkan di jalan-jalan utama menuju kota-kota tersebut. Masalah transportasi Jakarta selanjutnya adalah tata ruangan Jakarta yang sedemikan rumit dan kompleks. Tata ruangan yang tidak mengindahkan tata guna lahan menyebakan semakin banyaknya transportasi atau perpindahan yang harus dilakukan warga ibu kota. Padahal,s eperti kita ketahui bersama, pada dasarnya kebutuhan akan transportasi adalah kebutuhan sekunder manusia untuk memenuhi kebutuhan yang sebenarnya. Baik itu berupa barang maupun orang. Tata ruang yang buruk juga bisa menjadi titik pangkal kemacetan . Seperti misalnya tempat keluar parkir dari sebuah pusat perbelanjaan terkenal yang membuat macet jalanan atau kawasan disekitarnya. Selain itu masalah transportasi yang sangat krusial adalah pertumbuhan kendaraan pribadi yang mencapai 11% per tahun. Angka yang cukup fantastis bagi Jakarta yang hanya mempunyai 5000 km jalan raya (sudah termasuk jalan-jalan kecil dan jalan tol). Bahkan jika semua kendaraan yang ada di kota Jakarta keluar pada saat yang bersamaan maka bisa dipastikan seluruh jalan yang ada di Jakarta akan ditutupi oleh kendaraan tersebut. Mengapa kompleksitas masalah ini terjadi dan bagaimana solusinya? Untuk mencari solusi atas masalah transportasi Jakarta yang ada, disamping pendekatan kekinian dan kedisinian juga diperlukan pendekatan sejarah transportasi kota. Mengapa hal ini penting? Kita harus menyadari bahwa kondisi transportasi Jakata yang terjadi sekarang adalah akumulasi dari kebijakan-kebijakan transportasi di masa lampau. Bagaimana kota ini pertama kali mengatur transportasi penduduk dan barangnya? Dengan menggunakan moda apa mayoritas masyarakat melakukan perpindahan? Bagaimana sebenarnya blue print rancangan transportasi ibu kota? Apa yang telah dilakuakan pendahulu kita untuk memabangun trasnsportai yang ideal di kota pelabuhan ini? Selain itu, penting pula untuk diketahui sejarah Jakarta sejak kota ini pertama kali berdiri. http://taufiqsuryo.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce-284/plugins/wordpress/img/trans.gif Sejarah transportasi kota Jakarta bermula dari sebuah pelabuhan yang bernama Sunda Kelapa. Pelabuhan ini merupakan pelabuhan dari kerajaan Pajajaran. Sebelumnya merupakan milik kerajaan Tarumanegara yang dipakai untuk transportasi barang-barang dagangan dengan pedagang-pedagang dari India dan Cina. Sejak dulu Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang cukup strategis dan ramai. Maka tidak heran sejak dulu arus transportasi sudah sedemikian padat di pelabuhan ini. Sekitar tahun 1859, Sunda Kalapa sudah tidak seramai masa-masa sebelumnya. Akibat pendangkalan, kapal-kapal tidak lagi dapat bersandar di dekat pelabuhan sehingga barang-barang dari tengah laut harus diangkut dengan perahu-perahu. Oleh karena itu dibangunlah pelabuhan baru di daerah tanjung priok sekitar 15 km kearah timur dari pelabuhan sunda kalapa. Untuk memperlancar arus barang maka dibangun juga jalan kereta api pertama (1873) antara Batavia – Buitenzorg (Bogor). Empat tahun sebelumnya muncul trem berkuda yang ditarik empat ekor kuda, yang diberi besi di bagian mulutnya. Dari sejarah diatas bisa diambil kesimpulan bahwa sejak dulu kota Jakarta merupakan kota dengan arus perpindahan barang maupun orang yang cukup padat. Infrastruktur dasar perkotaannya pun merupakan infrastrukur transportasi seperti pelabuhan dan jalur kereta api. Perkembangan tranportasi kota Jakarta pun memasuki babak baru ketika daerah-daerah pemukiman muncul didaerah sekitar pelabuhan. Mulailah muncul jalan-jalan penghubung di daerah sekitar pelabuhan. Hingga zaman sebelum kemerdekaan , Jakarta sudah berubah menjadi sebuah kota yang modern yang kala itu bernama Batavia. Pada saat itu, tahun 1943 sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, ada angkutan massal yang disebut Zidosha Sokyoku (ZS). Jangan membayangkan bentuk kendaraan yang bermesin, angkutan tersebut berupa sebuah gerobak yang ditarik seekor sapi, bahkan ketika keadaan serba sulit karena perang sapi penariknya justru disembelih untuk dimakan. Selain itu sejak tahun 1910, Jakarta sudah mempunyai jaringan trem. Trem adalah kereta dalam kota yang digerakkan oleh mesin uap. Trem merupakan angkutan massal pertama yang ada di Jakarta. Ketika itu Jaringan trem di Jakarta sudah melayani arus perpindahan dari pelabuhan hingga kampung melayu. Sampai saat ini peninggalan jejak trem di Jakarta masih bis kita lihat diantaranya di museum fatahillah serta di Jembatan bekas trem yang milintas sungai Ciliwung di daerah Raden Saleh atau Dipo trem yang sekarang ditempati PPD sebagai dipo di daerah Salemba. Dapat disimpulaan ketika itu transportasi massal menjadi pilihan utama masyarakat untuk berpergian di dalam kota. Kebijakan mulai beralih kepada penggunaan kendaraan pribadi sejak taun 1960an ketika presiden Sukarno memerintahkan penghapuisan trem dari Jakarta dengan alasan bahwa trem sudah tidak cocok lagi untuk kota sebesar jakarta. Sayangnya ketika trem dihapus, sebelumnya tidak diimbangi dengan jumlah bus. Ketika itu politik kita yang ‘progresif revolusioner’ berpihak ke Blok Timur yang sedang berkonfrontasi dengan Blok Barat yang dijuluki Nekolim (neokolonialisme, kolonialisme, dan imperialisme). Tidak heran bus-bus yang beroperasi di jakarta berasal dari Eropa Timur, seperti merek Robur dan Ikarus. Akan tetapi, karena jumlahnya tidak banyak, opletlah yang mendominasi angkutan diJ Jakarta . Sampai-sampai beroperasi ke jalan-jalan protokol, di samping becak untuk jarak dekat. Waktu itu oplet (dari kata autolet) bodinya terbuat dari kayu yang dirakit di dalam negeri. Sedangkan mesinya dari mobil tahun 1940-an dan 1950-an, seperti merek Austin dan Moris Minor (Inggris) serta Fiat (Italia). Di Jakarta juga disebut ostin, mengacu nama Austin, yang sisa-sisanya kini dapat dihitung dengan jari. Kemudian pada tahun 1970an terjadi peningkatan jumlah kendaraaan secara signifikan di Jakarta. Terjadilah revolusi transportasi yang melanda Jakarta. Masyarakat berlomba-lomba untuk memiliki kendaraaan pribadi. Seakan-akan belum menjadi orang kaya jika belum mempunyai mobil pribadi. Ditunjang oleh sistem pengkreditan yang luar biasa mudah, membuat ,aysrakat berlomba-lomba memiliki mobil pribadi. Pemerintah pun seakan mendukung program ‘pembelian kendaraan pribadi’ ini. Jalan-jalan utama diperlebar, jalur-jalur ditambah, dan kebijakan-kebijakan lain yang semakin memanjakan penggunaan mobil pribadi. Akmumulasi akibat dari kebijakan ini adalah keadaan Jakarta seperti sekarang. Dimana kapasitas jalan sudah tidak mampu lagi menampung arus kendaraan yang melintas diatasnya smentra pertumbuhan pemilikan kendaraan tetap saja tinggi. Sebenarnya kebijakan transportasi Jakarta, dalam satu dasawarsa terakhir, sudah memasuki tahapan baru. Pemerintah mulai menyadari bahwa untuk kota seperti Jakarta, penggunaan transportasi yang bersifat massal lebih menguntungkan dibandingkan transportasi yang berbasis kendaraan pribadi. Hal ini bisa kita lihat pada kebijakan-kebijakan transportasi Jakarta dalam satu dasawarsa terakhir ini uyang mulai menunjukkan tren untuk mengurangi jumlah kendaran pribadi dan memperbaiki sistem angkutan umum di kota Jakarta. Di masa Gubernur Surjadi Soedirdja, Kepala DLLAJ DKI Jakarta J. P. Sepang diperintahkan untuk memberlakukan Sistem Satu Arah (SSA) pada sejumlah ruas jalan. Langkah ini meniru sistem di Singapura. Pemda DKI Jakarta di masa itu juga membuat jalur khusus bagi bus kota dengan cat warna kuning, termasuk membangun sejumlah halte bus dengan sarana telepon umum (Halte 2000). Lagi-lagi sayang, hal tersebut akhirnya juga diiringi dengan antrean kendaraan yang makin memanjang di jalan-jalan raya dan bus kota yang tidak juga tertib dalam menaik-turunkan penumpang. Kemudian, Pemprov DKI Jakarta saat itu juga mempraktekkan sistem pengaturan lampu lalu-lintas kawasan (Area Traffic Control System-ATSC) pada 110 persimpangan yang bisa disaksikan setiap sore melalui tayangan Metro TV. Tapi sistem adopsi Jerman itu tidak efektif untuk mengatasi persoalan transportasi di Jakarta, kalah oleh hujan lebat yang turun dan berhasil mematikan lampu lalu lintas secara tiba-tiba. Terakhir, di akhir masa kepemimpinan Sutiyoso, wajah Ibukota dihiasi dengan bus TransJakarta yang menjadi tulang punggung konsep sistem transportasi makro/massal (baca: busway). Dengan 7 koridor efektif dan 329 armada bus, busway justru menjadi masalah baru. Beberapa catatan yang menyebabkan masalah dapat dengan mudah diidentifikasi, seperti pembangunan koridor di bahu jalan umum tanpa penambahan luas-panjang dan jaringan jalan, serta jumlah armada yang hanya mampu menyerap 210.000 penumpang per hari (berbanding 8,96 juta penduduk) dengan tingkat kepadatan yang tinggi (berdesakan), apalagi dengan kebijakan Fauzi Bowo yang memperbolehkan kendaraan lain melintasi jalur busway. Busway yang diklaim sebagai sarana transportasi massal-cepat itupun semakin minim sanjungan. Terbukti, hasil riset tim Japan International Cooperation Agency (JICA) menyatakan bahwa perpindahan pengguna kendaraan pribadi menjadi pengguna busway hanya mencapai 14%. Di sisi lain, Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) menargetkan mampu menjual sekiar 420 ribu unit kendaraan setahunnya. Ini berarti masyarakat Ibukota tidak memiliki apresiasi yang baik terhadap busway sebagai tawaran para pengurus Ibukota (baca: Pemprov DKI Jakarta). Melihat dari sejarahnya pun, pola transportasi yang paling tepat untuk diterapkan di kota seperti Jakarta adalah transportasi yang bersiafat massal, yang mampu mengmindahkan banyak orang sekaligus dalam waktu yang relatif singkat, cepat, dan aman. Namun sayangnya hal ini tidak disadari oleh pengambil kebijakan ibukota di masa lampau. Bertuntungnya, pemerintah saat ini muali kembali ke arah kebjikan yang sesuai. Tren yang berkembang akhir-akhir adalah pengembangan sistem transportasi massal yang terpadu di DKI Jakarta. Hal ini sudah dimulai sejak diluncurkannya program Busway oleh gubernur Sutiyoso beberapa tahun yang lalu. Seajatinya pembangunan infrasturktur transportasi tidak dapat dilakukan dalam setahun dua tahun. Perlu kebijakan yang berkesinambungan agar masalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Pembangunan mass rapid transit(MRT) beserta sistem yang mendukungnya adalah solusi jangka yang harus terus diupayakan. Jakarta dalam hal ini sudah memiliki master plan untuk mengintegrasikan sistem busway, monorel, shelter bus, serta kereta listrik, sebagai MRT andalannya dimasa datang. Dengan berbagai kekurangannya, program busway dan kereta listrik bagaimanapun telah menjadi prioneer MRT yang harus terus didukung dan diperjuangkan. Diamping itu, dalam tanggung-jawabnya melayani kebutuhan publik Ibukota Negara. Dalam keseriusan membangun sistem transportasi massal-cepat, pengelola transportasi Ibukota (juga Indonesia) pun harus menguasai teknologi transportasi. Konsekuensinya adalah pengembangan industri transportasi yang mandiri. Untuk pengembangan sistem transportasi jangka panjang, hal ini akan lebih efisien daripada terus menerus melakukan ’impor’ teknologi dan pemeliharaannya yang sangat mahal. Namun, tersedianya sarana transportasi massal-cepat tidak bisa berdiri sendiri dalam menjamin efek yang diharapkan. Dibutuhkan strategi untuk ’mengarahkan’ pilihan masyarakat menggunakan sarana transportasi massal. Strategi ini akan berusaha melepaskan masyarakat dari penggunaan kendaraan pribadi, sehingga sistem transportasi massal-cepat dapat berjalan efektif. Secara garis besar, aplikasi kebijakan insentif-disinsentifikasi pajak kendaraan dan kuota kepemilikan adalah strategi yang tegas bagi para pengguna kendaraan pribadi. Selain dapat memaksimalkan penggunaan sarana transportasi massal-cepat oleh sebanyak-banyaknya penduduk, dana yang terkumpul dari strategi ini juga dapat dialokasikan untuk terus membangun sistem transportasi massal-cepat yang telah diproyeksikan. Berikut ini adalah beberapa aplikasi diatas: “Congestion Charging” atau pajak kemacetan adalah pengenaan pajak pada kendaraan yang melewati wilayah-wilayah tertentu di dalam sebuah kota, dengan klasifikasi jenis kendaraan tertentu dan pada waktu tertentu. London, Trondheim, Durham dan beberapa kota lainnya di Eropa menggunakan strategi ini. Pembayaran pajak dapat dilakukan melalui account khusus atau tempat lainnya. Kendaraan yang melewati zona tersebut dimonitor oleh kamera khusus yang merekam plat mobil yang lewat. Semua uang yang terkumpul dari congestion charging diinvestasikan untuk membangun fasilitas sistem transportasi kota. Kemudian juga ada strategi penerapan peraturan pembatasan usia kendaraan dan kelaikan operasional kendaraan bermotor. Dengan begitu, pertumbuhan jumlah kendaraan dalam kurun waktu tertentu dapat dikontrol. Cara ini juga bisa diparalelkan dengan pengenaan pajak tinggi kepada para pemilik kendaraan lebih dari satu. Strategi selanjutnya adalah sistem kuota (Vehicles Quota System-VQS). Dengan sistem kuota maka tingkat pertumbuhan kendaraan dapat ditekan sekecil mungkin. Di Singapura, cara ini mampu menekan pertumbuhan kendaraan sebesar 3% per tahun. Selain itu dapat diberlakukan pola Mobil Liburan (Weekend Car-WEC). Mobil-mobil ini dibatasi penggunaannya hanya pada akhir pekan atau di luar jam sibuk (peak hours). Kompensasinya, setiap pemilik kendaraan WEC akan memperoleh potongan biaya tambahan pendaftaran kendaraan atau potongan biaya pajak. Sedikit paparan diatas adalah pilihan bagi pengelola Ibukota untuk mengatasi masalah transportasi. Di samping itu, dalam mengambil keputusan kebbijkan transportasi, analisis yang tidak boleh dilupakan adalah analisi permintaan terhadap transportasi itu sendiri. Bisa saja Jakarta sudah mempunyai MRT dan sistem transportasi yang terpadu. Busway, momorel, Kereta Listrik serta sistem shelter yang memadai, akan tetapi permintaan akan transportasi tetap saja besar. MRT tetap saja penuh dan tidak nyaman, Jakarta tetap macet karena masih banyak kendaraan-kenadraan pribadi yang tidak mampu diakomodir oleh sistem MRT. Masyarakat masih tetap saja mengeluh bahwa persoalan transportasi belum selesai sehingga pengurangan permintaan transportasi adalah sesuatu yang harus kita upayakan. Salah satu caranya adalah dengan memeratakan pertumbuhan ekonomi di Jakarta ke daerah sekitarnya. Sehingga orang tidak perlu berbondong-bondong mendatangi Jakarta hanyanuntuk mencari sesuap nasi. Alternatif lainnya dalah dengan membuat kawasan-kawasan terpadu di Jakarta. Dimana, tempat-tempat seperti pasar, tempat rekreasi, rumah sakit di satukan dalam satu kawasan yang dekat dengan warga sehingga untuk mencapai tampat itu masyarakat tidak perlu melakukan perjalanan jauh. Sebagai penutup, masalah transportasi adalah masalah yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan usaha pemerintah saja. Jika sekarang kita berandai kekuatan Pemprov DKI Jakarta mampu merealisir pembangunan sistem transportasi massal-cepat yang efisien, accessible, dan ‘hijau’ untuk seluruh penghuni wilayah, Jakarta tempo doeloe yang dilukiskan dengan bangunan tua, pepohonan, trem, dan sepeda rasanya dapat menjelma menjadi Jakarta masa depan yang dihiasi dengan senyum penduduk Ibukota disepanjang jalan yang lancar dan teratur. Semoga. Tentu saja dengan peran aktif kita semua, warga masyarakat DKI Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar