Selasa, 27 Maret 2012

ipu 1;Jenis-jenis manusia purba

Meganthropus C.H.R. Von Keonigswald menemukan fosil manusia purba pada tahun 1936 dan 1941. Marks menemukan fosil manusia purba pada tahun 1952. Keduanya menemukan fosil manusia purba di daerah Sangiran (sebelah utara Surakarta). Karena ukurannya yang sangat besar maka manusia purba ini diberi nama Meganthropus Paleo Javanicus, artinya manusia kera besar yang tertua dari Jawa. Pithecanthropus 1. Pithecanthropus Mojokertensis C.H.R. Von Keonigswald menemukan fosil manusia purba pada tahun 1936 di desa Sangiran dekat Mojokerto dan desa Sangiran dekat Surakarta. Dinamakan Pithecanthropus Mojokertensis karena ditemukan di daerah Mojokerto, Jawa Timur. 2. Pithecanthropus Erectus Eugene Dubois menemukan fosil manusia purba pada tahun 1890 di desa Trinil. Desa tersebut terletak di tepi Sungai Bengawan Solo, dekat Ngawi, Jawa Timur. Pithecanthropus Erectus artinya manusia kera yang berjalan tegak. 3. Pithecanthropus Soloensis Sartono menemukan fosil manusia purba di Sambungmacan dan Sangiran. Diperkirakan jenis Phithecanthropus juga hidup di Sumatra, Kalimantan dan Cina. Homo 1. Homo Wajakensis Eugene Dubois dan Von Rietschoten menemukn fosil manusia purba pada tahun 1889 di desa Wajak, Tulungagung, Jawa Timur. Homo Wajakensis artinya manusia dari Wajak. 2. Homo Soloensis Ter Haar dan Oppennoorth menemukan fosil manusia purba pada tahun 1931-1934 di desa Ngandong, di lembah Sungai Bengawan Solo (Jawa Tengah). Hasil penemuan ini setelah diteliti oleh Von Koenigswald disimpulkan bahwa jenis manusia ini lebih tinggi tingkatannya dari Meganthropus dan Pithecanthropus. 3. Homo Pekinensis atau manusia Peking Davidson Black seorang sarjana dari Kanada menemukan fosil manusia purba pada tahun 1927 di Gua Chukoutien, di sebuah bukit kapur kira-kira 40 kilometer dari Peking, Cina. 4. Homo Africanus Raymond Dart ialah seorang dosen di sebuah universitas di Yohanesburg (Afrika Selatan). Ia menemukan fosil manusia purba pada tahun 1942 di sebuah daerah pertanbangan di Taung, Botswana. Awalnya hanya ditemukan tengkorak saja, namun karena bantuan pemilik pertambangan, Raymond Dart berhasil mengumpulkan fosil-fosil dalam jumlah yang banyak. Setelah diteliti dan direkontruksi, ternyata fosil itu kerangka seorang anak berusia antara 5 sampai 6 tahun. Penemuan tersebut lalu disusul oleh Robert Broom yang menemukan fosil berupa tengkorak orang dewasa. 5. Homo Neanderthalensis Penggalian dan penelitian manusia purba di Eropa di antaranya dilakukan pada tahun 1856. Tempat penggalian tersebut adalah di Lembah Neander, dekat Dussleldorf (Jerman). Fosil-fosil yang ditemukan kemudian diteliti oleh Rudolf Virchow seorang ahli Antropologi bangsa Jerman. 6. Homo Sapiens Homo Sapiens adalah manusia sempurna seperti sekarang ini.

ipu 2;MANUSIA PURBA DI INDONESIA

Penelitian manusia purba di Indonesia dilakukan oleh : 1. Eugena Dobois, 001-duboisDia adalah yang pertama kali tertarik meneliti manusia purba di Indonesia setelah mendapat kiriman sebuah tengkorak dari B.D Von Reitschoten yang menemukan tengkorak di Wajak, Tulung Agung. • Fosil itu dinamai Homo Wajakensis, termasuk dalam jenis Homo Sapien (manusia yang sudah berpikir maju) • Fosil lain yang ditemukan adalah : Pithecanthropus Erectus (phitecos = kera, Antropus Manusia, H erectus 17Erectus berjalan tegak) ditemukan di daerah Trinil, pinggir Bengawan Solo, dekat Ngawi, tahun 1891. Penemuan ini sangat menggemparkan dunia ilmu pengetahuan. • Pithecanthropus Majokertensis, ditemukan di daerah Mojokerto • Pithecanthropus Soloensis, ditemukan di daerah Solo Peta Penemuan Fosil Manusia Purba di Jawa Tengah – Jawa Timur 1. Sangiran 2 . Sambungmacan 3 . Sonde 4 . Trinil 5 . Ngandong 7 . Kedung Brubus 8 . Kalibeng 9 . Kabuh 10 . Pucangan 11 . Mojokerto (Jetis-Perning) 2. G.H.R Von Koeningswald 18a0e961486c7f4cHasil penemuannya adalah : Fosil tengkorak di Ngandong, Blora. Tahun 1936, ditemukan tengkorak anak di Perning, 1_Meganthropus_PalaeojavanicusMojokerto. Tahun 1937 – 1941 ditemukan tengkorak tulang dan rahang Homo Erectus dan Meganthropus Paleojavanicus di Sangiran, Solo. 3. Penemuan lain tentang manusia Purba : Ditemukan tengkorak, rahang, tulang pinggul dan tulang paha manusia Meganthropus, Homo Erectus dan Homo Sapien di lokasi Sangiran, Sambung Macan (Sragen),Trinil, Ngandong dan Patiayam (kudus). 4. Penelitian tentang manusia Purba oleh bangsa Indonesia dimulai pada tahun 1952 yang dipimpin oleh Prof. DR. T. Jacob dari UGM, di daerah Sangiran dan sepanjang aliran Bengawan Solo. Fosil Manusia Purba yang ditemukan di Asia, Eropa, dan Australia adalah : • Semuanya jenis Homo yang sudah maju : Serawak (Malaysia Timur), Tabon (Filipina), dan Cina. • Fosil yang ditemukan di Cina oleh Dr. Davidson Black, dinamai Sinanthropus Pekinensis. • Fosil yang ditemukan di Neanderthal, dekat Duseldorf, Jerman yang dinamai Homo Neaderthalensis. • Menurut Dubois, bangsa asli Australia termasuk Homo Wajakensis, sehingga ia berkesimpulan Homo Wajakensis termasuk golongan bangsa Australoid. Jenis-jenis Manusia Purba yang ditemukan di Indonesia ada tiga jenis : 1. Meganthropus 2. Pithecanthropus 3. Homo Jenis manusia Purba Pithecanthropus Ciri-ciri manusia purba yang ditemukan di Indonesia : 1. Ciri Meganthropus : • Hidup antara 2 s/d 1 juta tahun yang lalu • Badannya tegak • Hidup mengumpulkan makanan • Makanannya tumbuhan • Rahangnya kuat 2. Ciri Pithecanthropus : • Hidup antara 2 s/d 1 juta tahun yang lalu • Hidup berkelompok • Hidungnya lebar dengan tulang pipi yang kuat dan menonjol • Mengumpulkan makanan dan berburu • Makanannya daging dan tumbuhan 3. Ciri jenis Homo : • Hidup antara 25.000 s/d 40.000 tahun yang lalu • Muka dan hidung lebar • Dahi masih menonjol • Tarap kehidupannya lebih maju dibanding manusia sebelumnya CORAK KEHIDUPAN PRASEJARAH INDONESIA DAN HASIL BUDAYANYA Hasil kebudayaan manusia prasejarah untuk mempertahankan dan memperbaiki pola hidupnya menghasilkan dua bentuk budaya yaitu : • Bentuk budaya yang bersifat Spiritual • Bentuk budaya yang bersifat Material i. Masyarakat Prasejarah mempunyai kepercayaan pada kekuatan gaib yaitu : • Dinamisme, yaitu kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib. Misalnya : batu, keris • Animisme, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang mereka yang bersemayam dalam batu-batu besar, gunung, pohon besar. Roh tersebut dinamakan Hyang. ii. Pola kehidupan manusia prasejarah adalah : • Bersifat Nomaden (hidup berpindah-pindah), yaitu pola kehidupannya belum menetap dan berkelompok di suatu tempat serta, mata pencahariannya berburu dan masih mengumpulkan makanan • Bersifat Sedenter (menetap), yaitu pola kehidupannya sudah terorganisir dan berkelompok serta menetap di suatu tempat, mata pencahariannya bercocok tanam. Muali mengenal norma adat, yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan iii. Sistem bercocok tanam/pertanian • Mereka mulai menggunakan pacul dan bajak sebagai alat bercocok tanam • Menggunakan hewan sapi dan kerbau untuk membajak sawah • Sistem huma untuk menanam padi • Belum dikenal sistem pemupukan iv. Pelayaran Dalam pelayaran manusia prasejarah sudah mengenal arah mata angin dan mengetahui posisi bintang sebagai penentu arah (kompas) v. Bahasa • Menurut hasil penelitian Prof. Dr. H. Kern, bahasa yang digunakan termasuk rumpun bahasa Austronesia yaitu : bahasa Indonesia, Polinesia, Melanesia, dan Mikronesia. • Terjadinya perbedaan bahasa antar daerah karena pengaruh faktor geografis dan perkembangan bahasa. jenis fosil manusia purba Indonesia: 01. Meganthropus Paleojavanicus (Sangiran). 02. Pithecanthropus Robustus (Trinil).manusia-purba 03. Pithecanthropus Erectus (Homo Erectus) (Trinil). 04. Pithecanthropus Dubius (Jetis). 05. Pithecanthropus Mojokertensis (Perning). 06. Homo Javanensis (Sambung Macan). 07. Homo Soloensis (Ngandong). 08. Homo Sapiens Archaic. 09. Homo Sapiens Neandertahlman Asia. 10. Homo Sapiens Wajakensis (Tulungagung) 11. Homo Modernman. Peta Persebaran Homo Erectus

ipu 3;SEJARAH BANK INDONESIA

Sejarah kelembagaan Bank Indonesia dimulai sejak berlakunya Undang-Undang (UU) No. 11/1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953. Dalam melakukan tugasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Moneter, Direksi, dan Dewan Penasehat. Di tangan Dewan Moneter inilah, kebijakan moneter ditetapkan, meski tanggung jawabnya berada pada pemerintah. Setelah sempat dilebur ke dalam bank tunggal, pada masa awal orde baru, landasan Bank Indonesia berubah melalui UU No. 13/1968 tentang Bank Sentral. Sejak saat itu, Bank Indonesia berfungsi sebagai bank sentral dan sekaligus membantu pemerintah dalam pembangunan dengan menjalankan kebijakan yang ditetapkan pemerintah dengan bantuan Dewan Moneter. Dengan demikian, Bank Indonesia tidak lagi dipimpin oleh Dewan Moneter. Setelah orde baru berlalu, Bank Indonesia dapat mencapai independensinya melalui UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diubah dengan UU No. 3/2004. Sejak saat itu, Bank Indonesia memiliki kedudukan khusus dalam struktur kenegaraan sebagai lembaga negara yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak-pihak lain. Namun, dalam melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, dan transparan, Bank Indonesia harus mempertimbangkan pula kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. Moneter Setelah berdirinya Bank Indonesia, kebijakan moneter di Indonesia secara umum ditetapkan oleh Dewan Moneter dan pemerintah bertanggung jawab atasnya. Mengingat buruknya perekonomian pasca perang, yang ditempuh pertama kali dalam bidang moneter adalah upaya perbaikan posisi cadangan devisa melalui kegiatan ekspor dan impor. Pada periode ekonomi terpimpin, pembiayaan deficit spending keuangan negara terus meningkat, terutama untuk membiayai proyek politik pemerintah. Laju inflasi terus membumbung tinggi sehingga dilakukan dua kali pengetatan moneter, yaitu tahun 1959 dan 1965. Lepas dari periode tersebut pemerintah memasuki masa pemulihan ekonomi melalui program stabilisasi dan rehabilitasi yang kemudian diteruskan dengan kebijakan deregulasi bidang keuangan dan moneter pada awal 1980-an. Di tengah pasang surutnya kondisi perekonomian, lahirlah berbagai paket kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk memperkuat struktur perekonomian Indonesia. Mulai pertengahan tahun 1997, krisis ekonomi moneter menerpa Indonesia. Nilai tukar rupiah melemah, sistem pembayaran terancam macet, dan banyak utang luar negeri yang tak terselesaikan. Berbagai langkah ditempuh, mulai dari pengetatan moneter hingga beberapa program pemulihan IMF yang diperoleh melalui beberapa Letter of Intent (LoI) pada tahun 1998. Namun akhirnya masa suram dapat terlewati. Perekonomian semakin membaik seiring dengan kondisi politik yang stabil pada masa reformasi. Sejalan dengan itu, tahun 1999 merupakan tonggak bersejarah bagi Bank Indonesia dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3/2004. Dalam undang-undang ini, Bank Indonesia ditetapkan sebagai lembaga tinggi negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Sesuai undang-undang tersebut, Bank Indonesia diwajibkan untuk menetapkan target inflasi yang akan dicapai sebagai landasan bagi perencanaan dan pengendalian moneter. Selain itu, utang luar negeri berhasil dijadwalkan kembali dan kerjasama dengan IMF diakhiri melalui Post Program Monitoring (PPM) pada 2004. Perbankan Saat kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950, struktur ekonomi Indonesia masih didominasi oleh struktur kolonial. Bank-bank asing masih merajai kegiatan perbankan nasional, sementara peranan bank-bank nasional dalam negeri masih terlampau kecil. Hingga masa menjelang lahirnya Bank Indonesia pada tahun 1953, pengawasan dan pembinaan bank-bank belum terselenggara. De Javasche Bank adalah bank asing pertama yang dinasionalisasi dan kemudian menjelma menjadi BI sebagai bank sentral Indonesia. Beberapa tahun kemudian, seiring dengan memanasnya hubungan RI-Belanda, dilakukan nasionalisasi atas bank-bank milik Belanda. Berikutnya, sistem ekonomi terpimpin telah membawa bank-bank pemerintah kepada sistem bank tunggal yang tidak bertahan lama. Orde baru datang membawa perubahan dalam bidang perbankan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 14/1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Mulai saat itu, sistem perbankan berada dalam kesatuan sistem dan kesatuan pimpinan, yaitu melalui pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia. Bank Indonesia dengan dukungan pemerintah, dalam kurun waktu 1971-1972 melaksanakan kebijakan penertiban bank swasta nasional dengan sasaran mengurangi jumlah bank swasta nasional, karena jumlahnya terlalu banyak dan sebagian besar terdiri atas bank-bank kecil yang sangat lemah dalam permodalan dan manajemen. Selain itu, Bank Indonesia juga menyediakan dana yang cukup besar melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk program-program Kredit Investasi Kecil (KIK)/Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Investasi (KI), Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI), Kredit Koperasi (Kakop), Kredit Profesi Guru (KPG), dan sebagainya. Dengan langkah ini, BI telah mengambil posisi sebagai penyedia dana terbesar dalam pembangunan ekonomi di luar dana APBN. Industri perbankan Indonesia telah menjadi industri yang hampir seluruh aspek kegiatannya diatur oleh pemerintah dan BI. Regulasi tersebut menyebabkan kurangnya inisiatif perbankan. Tahun 1983 merupakan titik awal BI memberikan kebebasan kepada bank-bank untuk menetapkan suku bunga, baik kredit maupun tabungan dan deposito. Tujuannya adalah untuk membangun sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh. Kebijakan selanjutnya merupakan titik balik dari kebijakan pemerintah dalam penertiban perbankan tahun 1971-1972 dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88), yaitu kemudahan pemberian ijin usaha bank baru, ijin pembukaan kantor cabang, dan pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Pada periode selanjutnya, perbankan nasional mulai menghadapi masalah meningkatnya kredit macet. Hal ini sejalan dengan meningkatnya pemberian kredit oleh perbankan terutama untuk sektor properti. Keadaan ekonomi mulai memanas dan tingkat inflasi mulai bergerak naik. Ketika krisis moneter 1997 melanda, struktur perbankan Indonesia porak poranda. Pada tanggal 1 November 1997, dikeluarkan kebijakan pemerintah yang melikuidasi 16 bank swasta. Hal ini mengakibatkan kepanikan di masyarakat. Oleh karena itu, Bank Indonesia turun mengatasi keadaan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atas dasar kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, berbagai tindakan restrukturisasi dijalankan oleh Bank Indonesia bersama pemerintah. Sistem Pembayaran Sistem pembayaran di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu sistem pembayaran tunai dan non tunai. Dalam Undang-Undang (UU) No. 11/1953 ditetapkan bahwa Bank Indonesia (BI) hanya mengeluarkan uang kertas dengan nilai lima rupiah ke atas, sedangkan pemerintah berwenang mengeluarkan uang kertas dan uang logam dalam pecahan di bawah lima rupiah. Uang kertas pertama yang dikeluarkan oleh BI adalah uang kertas bertanda tahun 1952 dalam tujuh pecahan. Selanjutnya, berdasarkan UU No. 13/1968, BI mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam sebagai alat pembayaran yang sah dalam semua pecahan. Sejak saat itu, pemerintah tidak lagi menerbitkan uang kertas dan uang logam. Uang logam pertama yang dikeluarkan oleh BI adalah emisi tahun 1970. Pada era 1990-an, BI mengeluarkan uang dalam pecahan besar, yaitu Rp 20.000 (1992), Rp 50.000 (1993), dan Rp 100.000 (1999). Hal itu dilakukan guna memenuhi kebutuhan uang pecahan besar seiring dengan perkembangan ekonomi yang tengah berlangsung saat itu. Sementara itu, dalam bidang pembayaran non tunai, BI telah memulai langkahnya dengan menetapkan diri sebagai kantor perhitungan sentral menjelang akhir tahun 1954. Sebagai bank sentral, sejak awal BI telah berupaya keras dalam pengawasan dan penyehatan sistem pembayaran giral. BI juga terus berusaha untuk menyempurnakan berbagai sistem pembayaran giral dalam negeri dan luar negeri. Pada periode 1980 sampai dengan 1990-an, pertumbuhan ekonomi semakin membaik dan volume transaksi pembayaran non tunai juga semakin meningkat. Oleh karena itu, BI mulai menggunakan sistem yang lebih efektif dan canggih dalam penyelesaian transaksi pembayaran non tunai. Berbagai sistem seperti Semi Otomasi Kliring Lokal (SOKL) dengan basis personal computer dan Sistem Transfer Dana Antar Kantor Terotomasi dan Terintegrasi (SAKTI) dengan sistem paperless transaction terus dikembangkan dan disempurnakan. Akhirnya, BI berhasil menciptakan berbagai perangkat sistem elektronik seperti BI-LINE, Sistem Kliring Elektronik Jakarta (SKEJ), Real Time Gross Settlement (RTGS), Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh (SIKJJ), kliring warkat antar wilayah kerja (intercity clearing), dan Scriptless Securities Settlement System (S4) yang semakin mempermudah pelaksanaan pembayaran non tunai di Indonesia.

ipu 4;Sejarah Uang Indonesia 1

Masa Awal Kemerdekaan Keadaan ekonomi di Indonesia pada awal kemerdekaan ditandai dengan hiperinflasi akibat peredaran beberapa mata uang yang tidak terkendali, sementara Pemerintah RI belum memiliki mata uang. Ada tiga mata uang yang dinyatakan berlaku oleh pemerintah RI pada tanggal 1 Oktober 1945, yaitu mata uang Jepang, mata uang Hindia Belanda, dan mata uang De Javasche Bank. . Mata uang Hindia Belanda dan mata uang De Javasche bank . Diantara ketiga mata uang tersebut yang nilai tukarnya mengalami penurunan tajam adalah mata uang Jepang. Peredarannya mencapai empat milyar sehingga mata uang Jepang tersebut menjadi sumber hiperinflasi. Lapisan masyarakat yang paling menderita adalah petani, karena merekalah yang paling banyak menyimpan mata uang Jepang. . . Mata uang Jepang (Dai Nippon Teikoku Seihu) . . Kekacauan ekonomi akibat hiperinflasi diperparah oleh kebijakan Panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) Letjen Sir Montagu Stopford yang pada 6 Maret 1946 mengumumkan pemberlakuan mata uang NICA di seluruh wilayah Indonesia yang telah diduduki oleh pasukan AFNEI. Kebijakan ini diprotes keras oleh pemerintah RI, karena melanggar persetujuan bahwa masing-masing pihak tidak boleh mengeluarkan mata uang baru selama belum adanya penyelesaian politik. Namun protes keras ini diabaikan oleh AFNEI. Mata uang NICA digunakan AFNEI untuk membiayai operasi-operasi militernya di Indonesia dan sekaligus mengacaukan perekonomian nasional, sehingga akan muncul krisis kepercayaan rakyat terhadap kemampuan pemerintah RI dalam mengatasi persoalan ekonomi nasional. Karena protesnya tidak ditanggapi, maka pemerintah RI mengeluarkan kebijakan yang melarang seluruh rakyat Indonesia menggunakan mata uang NICA sebagai alat tukar. Langkah ini sangat penting karena peredaran mata uang NICA berada di luar kendali pemerintah RI, sehingga menyulitkan perbaikan ekonomi nasional. Mata Uang NICA Oleh karena AFNEI tidak mencabut pemberlakuan mata uang NICA, maka pada tanggal 26 Oktober 1946 pemerintah RI memberlakukan mata uang baru ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai alat tukar yang sah di seluruh wilayah RI. Sejak saat itu mata uang Jepang, mata uang Hindia Belanda dan mata uang De Javasche Bank dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian hanya ada dua mata uang yang berlaku yaitu ORI dan NICA. Masing-masing mata uang hanya diakui oleh yang mengeluarkannya. Jadi ORI hanya diakui oleh pemerintah RI dan mata uang NICA hanya diakui oleh AFNEI. Rakyat ternyata lebih banyak memberikan dukungan kepada ORI. Hal ini mempunyai dampak politik bahwa rakyat lebih berpihak kepada pemerintah RI dari pada pemerintah sementara NICA yang hanya didukung AFNEI. Untuk mengatur nilai tukar ORI dengan valuta asing yang ada di Indonesia, pemerintah RI pada tanggal 1 November 1946 mengubah Yayasan Pusat Bank pimpinan Margono Djojohadikusumo menjadi Bank Negara Indonesia (BNI). Beberapa bulan sebelumnya pemerintah juga telah mengubah bank pemerintah pendudukan Jepang Shomin Ginko menjadi Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Tyokin Kyoku menjadi Kantor Tabungan Pos (KTP) yang berubah nama pada Juni 1949 menjadi Bank tabungan Pos dan akhirnya di tahun 1950 menjadi Bank Tabungan Negara (BTN). Semua bank ini berfungsi sebagai bank umum yang dijalankan oleh pemerintah RI. Fungsi utamanya adalah menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat serta pemberi jasa di dalam lalu lintas pembayaran. . Terbentuknya Bank Indonesia Jauh sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah menjadi pusat perdagangan internasional. Sementara di daratan Eropa muncul lembaga perbankan sederhana, seperti Bank van Leening di negeri Belanda. Sistem perbankan ini kemudian dibawa oleh bangsa barat yang mengekspansi nusantara pada waktu yang sama. VOC di Jawa pada 1746 mendirikan De Bank van Leening yang kemudian menjadi De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank itu adalah bank pertama yang lahir di nusantara, cikal bakal dari dunia perbankan pada masa selanjutnya. Pada 24 Januari 1828, pemerintah Hindia Belanda mendirikan bank sirkulasi dengan nama De Javasche Bank (DJB). Selama berpuluh-puluh tahun bank tersebut beroperasi dan berkembang berdasarkan suatu oktroi dari penguasa Kerajaan Belanda, hingga akhirnya diundangkan DJB Wet 1922. Masa pendudukan Jepang telah menghentikan kegiatan DJB dan perbankan Hindia Belanda untuk sementara waktu. Kemudian masa revolusi tiba, Hindia Belanda mengalami dualisme kekuasaan, antara Republik Indonesia (RI) dan Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA). Perbankan pun terbagi dua, DJB dan bank-bank Belanda di wilayah NICA sedangkan "Jajasan Poesat Bank Indonesia" dan Bank Negara Indonesia di wilayah RI. Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 mengakhiri konflik Indonesia dan Belanda, ditetapkan kemudian DJB sebagai bank sentral bagi Republik Indonesia Serikat (RIS). Status ini terus bertahan hingga masa kembalinya RI dalam negara kesatuan. Berikutnya sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, RI menasionalisasi bank sentralnya. Maka sejak 1 Juli 1953 berubahlah DJB menjadi Bank Indonesia, bank sentral bagi Republik Indonesia. .

ipu 5;Jakarta kota metropolitan terbesar dan terpadat di Asia Tenggara. Kota yang dihuni oleh sekitar 8 juta jiwa penduduknya dengan segala permasalahan dan kesemerawutannya. Kota dengan sejarah masa lalu yang kompleks dan kondisi sosial budaya yang sangat beragam tentu dengan sederet permasalahannya. Salah satu masalah yang cukup krusial dan penting adalah masalah transportasi kota. Selama ini Jakarta dikenal sebagai metropolitan terburuk dalam mengatur transportasi warganya yang mencapai 8 juta jiwa. Kemacetan selalu terjadi dimana-mana. Bahkan menurut situs ensiklopedia terkenal, Wikipedia, Jakarta memiliki lebih dari 100 titik rawan kemacetan yang tersebar merata diseluruh wilayah kota. Fasilitas dan Infrastrukur transportasi yang kurang menjadi salah satu penyebab utama terjadinya kemacetan tersebut. Jakarta belum mempunyai sistem serta infrasturktur transportasi massal yang terpadu. Transportasi yang bisa melayani kebutuhan perpindahan warganya dengan cepat, aman, murah, nyaman dan massal. Disamping itu keberadaan kantong-kantong penduduk di kota-kota satelit Jakarta yang setiap harinya melakukan perjalanan menuju Jakarta ikut memperparah keruwetan transportasi di kota Jakarta. Komuter yang berasal dari Depok, Tanggerang, Bogor serta Bekasi tersebut semakin menambah arus kendaraan di dalam kota Jakarta yang sudah sedemikian padat. Sebagai akibatnya, kemacetan yang parah tak terhindarkan di jalan-jalan utama menuju kota-kota tersebut. Masalah transportasi Jakarta selanjutnya adalah tata ruangan Jakarta yang sedemikan rumit dan kompleks. Tata ruangan yang tidak mengindahkan tata guna lahan menyebakan semakin banyaknya transportasi atau perpindahan yang harus dilakukan warga ibu kota. Padahal,s eperti kita ketahui bersama, pada dasarnya kebutuhan akan transportasi adalah kebutuhan sekunder manusia untuk memenuhi kebutuhan yang sebenarnya. Baik itu berupa barang maupun orang. Tata ruang yang buruk juga bisa menjadi titik pangkal kemacetan . Seperti misalnya tempat keluar parkir dari sebuah pusat perbelanjaan terkenal yang membuat macet jalanan atau kawasan disekitarnya. Selain itu masalah transportasi yang sangat krusial adalah pertumbuhan kendaraan pribadi yang mencapai 11% per tahun. Angka yang cukup fantastis bagi Jakarta yang hanya mempunyai 5000 km jalan raya (sudah termasuk jalan-jalan kecil dan jalan tol). Bahkan jika semua kendaraan yang ada di kota Jakarta keluar pada saat yang bersamaan maka bisa dipastikan seluruh jalan yang ada di Jakarta akan ditutupi oleh kendaraan tersebut. Mengapa kompleksitas masalah ini terjadi dan bagaimana solusinya? Untuk mencari solusi atas masalah transportasi Jakarta yang ada, disamping pendekatan kekinian dan kedisinian juga diperlukan pendekatan sejarah transportasi kota. Mengapa hal ini penting? Kita harus menyadari bahwa kondisi transportasi Jakata yang terjadi sekarang adalah akumulasi dari kebijakan-kebijakan transportasi di masa lampau. Bagaimana kota ini pertama kali mengatur transportasi penduduk dan barangnya? Dengan menggunakan moda apa mayoritas masyarakat melakukan perpindahan? Bagaimana sebenarnya blue print rancangan transportasi ibu kota? Apa yang telah dilakuakan pendahulu kita untuk memabangun trasnsportai yang ideal di kota pelabuhan ini? Selain itu, penting pula untuk diketahui sejarah Jakarta sejak kota ini pertama kali berdiri. http://taufiqsuryo.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce-284/plugins/wordpress/img/trans.gif Sejarah transportasi kota Jakarta bermula dari sebuah pelabuhan yang bernama Sunda Kelapa. Pelabuhan ini merupakan pelabuhan dari kerajaan Pajajaran. Sebelumnya merupakan milik kerajaan Tarumanegara yang dipakai untuk transportasi barang-barang dagangan dengan pedagang-pedagang dari India dan Cina. Sejak dulu Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang cukup strategis dan ramai. Maka tidak heran sejak dulu arus transportasi sudah sedemikian padat di pelabuhan ini. Sekitar tahun 1859, Sunda Kalapa sudah tidak seramai masa-masa sebelumnya. Akibat pendangkalan, kapal-kapal tidak lagi dapat bersandar di dekat pelabuhan sehingga barang-barang dari tengah laut harus diangkut dengan perahu-perahu. Oleh karena itu dibangunlah pelabuhan baru di daerah tanjung priok sekitar 15 km kearah timur dari pelabuhan sunda kalapa. Untuk memperlancar arus barang maka dibangun juga jalan kereta api pertama (1873) antara Batavia – Buitenzorg (Bogor). Empat tahun sebelumnya muncul trem berkuda yang ditarik empat ekor kuda, yang diberi besi di bagian mulutnya. Dari sejarah diatas bisa diambil kesimpulan bahwa sejak dulu kota Jakarta merupakan kota dengan arus perpindahan barang maupun orang yang cukup padat. Infrastruktur dasar perkotaannya pun merupakan infrastrukur transportasi seperti pelabuhan dan jalur kereta api. Perkembangan tranportasi kota Jakarta pun memasuki babak baru ketika daerah-daerah pemukiman muncul didaerah sekitar pelabuhan. Mulailah muncul jalan-jalan penghubung di daerah sekitar pelabuhan. Hingga zaman sebelum kemerdekaan , Jakarta sudah berubah menjadi sebuah kota yang modern yang kala itu bernama Batavia. Pada saat itu, tahun 1943 sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, ada angkutan massal yang disebut Zidosha Sokyoku (ZS). Jangan membayangkan bentuk kendaraan yang bermesin, angkutan tersebut berupa sebuah gerobak yang ditarik seekor sapi, bahkan ketika keadaan serba sulit karena perang sapi penariknya justru disembelih untuk dimakan. Selain itu sejak tahun 1910, Jakarta sudah mempunyai jaringan trem. Trem adalah kereta dalam kota yang digerakkan oleh mesin uap. Trem merupakan angkutan massal pertama yang ada di Jakarta. Ketika itu Jaringan trem di Jakarta sudah melayani arus perpindahan dari pelabuhan hingga kampung melayu. Sampai saat ini peninggalan jejak trem di Jakarta masih bis kita lihat diantaranya di museum fatahillah serta di Jembatan bekas trem yang milintas sungai Ciliwung di daerah Raden Saleh atau Dipo trem yang sekarang ditempati PPD sebagai dipo di daerah Salemba. Dapat disimpulaan ketika itu transportasi massal menjadi pilihan utama masyarakat untuk berpergian di dalam kota. Kebijakan mulai beralih kepada penggunaan kendaraan pribadi sejak taun 1960an ketika presiden Sukarno memerintahkan penghapuisan trem dari Jakarta dengan alasan bahwa trem sudah tidak cocok lagi untuk kota sebesar jakarta. Sayangnya ketika trem dihapus, sebelumnya tidak diimbangi dengan jumlah bus. Ketika itu politik kita yang ‘progresif revolusioner’ berpihak ke Blok Timur yang sedang berkonfrontasi dengan Blok Barat yang dijuluki Nekolim (neokolonialisme, kolonialisme, dan imperialisme). Tidak heran bus-bus yang beroperasi di jakarta berasal dari Eropa Timur, seperti merek Robur dan Ikarus. Akan tetapi, karena jumlahnya tidak banyak, opletlah yang mendominasi angkutan diJ Jakarta . Sampai-sampai beroperasi ke jalan-jalan protokol, di samping becak untuk jarak dekat. Waktu itu oplet (dari kata autolet) bodinya terbuat dari kayu yang dirakit di dalam negeri. Sedangkan mesinya dari mobil tahun 1940-an dan 1950-an, seperti merek Austin dan Moris Minor (Inggris) serta Fiat (Italia). Di Jakarta juga disebut ostin, mengacu nama Austin, yang sisa-sisanya kini dapat dihitung dengan jari. Kemudian pada tahun 1970an terjadi peningkatan jumlah kendaraaan secara signifikan di Jakarta. Terjadilah revolusi transportasi yang melanda Jakarta. Masyarakat berlomba-lomba untuk memiliki kendaraaan pribadi. Seakan-akan belum menjadi orang kaya jika belum mempunyai mobil pribadi. Ditunjang oleh sistem pengkreditan yang luar biasa mudah, membuat ,aysrakat berlomba-lomba memiliki mobil pribadi. Pemerintah pun seakan mendukung program ‘pembelian kendaraan pribadi’ ini. Jalan-jalan utama diperlebar, jalur-jalur ditambah, dan kebijakan-kebijakan lain yang semakin memanjakan penggunaan mobil pribadi. Akmumulasi akibat dari kebijakan ini adalah keadaan Jakarta seperti sekarang. Dimana kapasitas jalan sudah tidak mampu lagi menampung arus kendaraan yang melintas diatasnya smentra pertumbuhan pemilikan kendaraan tetap saja tinggi. Sebenarnya kebijakan transportasi Jakarta, dalam satu dasawarsa terakhir, sudah memasuki tahapan baru. Pemerintah mulai menyadari bahwa untuk kota seperti Jakarta, penggunaan transportasi yang bersifat massal lebih menguntungkan dibandingkan transportasi yang berbasis kendaraan pribadi. Hal ini bisa kita lihat pada kebijakan-kebijakan transportasi Jakarta dalam satu dasawarsa terakhir ini uyang mulai menunjukkan tren untuk mengurangi jumlah kendaran pribadi dan memperbaiki sistem angkutan umum di kota Jakarta. Di masa Gubernur Surjadi Soedirdja, Kepala DLLAJ DKI Jakarta J. P. Sepang diperintahkan untuk memberlakukan Sistem Satu Arah (SSA) pada sejumlah ruas jalan. Langkah ini meniru sistem di Singapura. Pemda DKI Jakarta di masa itu juga membuat jalur khusus bagi bus kota dengan cat warna kuning, termasuk membangun sejumlah halte bus dengan sarana telepon umum (Halte 2000). Lagi-lagi sayang, hal tersebut akhirnya juga diiringi dengan antrean kendaraan yang makin memanjang di jalan-jalan raya dan bus kota yang tidak juga tertib dalam menaik-turunkan penumpang. Kemudian, Pemprov DKI Jakarta saat itu juga mempraktekkan sistem pengaturan lampu lalu-lintas kawasan (Area Traffic Control System-ATSC) pada 110 persimpangan yang bisa disaksikan setiap sore melalui tayangan Metro TV. Tapi sistem adopsi Jerman itu tidak efektif untuk mengatasi persoalan transportasi di Jakarta, kalah oleh hujan lebat yang turun dan berhasil mematikan lampu lalu lintas secara tiba-tiba. Terakhir, di akhir masa kepemimpinan Sutiyoso, wajah Ibukota dihiasi dengan bus TransJakarta yang menjadi tulang punggung konsep sistem transportasi makro/massal (baca: busway). Dengan 7 koridor efektif dan 329 armada bus, busway justru menjadi masalah baru. Beberapa catatan yang menyebabkan masalah dapat dengan mudah diidentifikasi, seperti pembangunan koridor di bahu jalan umum tanpa penambahan luas-panjang dan jaringan jalan, serta jumlah armada yang hanya mampu menyerap 210.000 penumpang per hari (berbanding 8,96 juta penduduk) dengan tingkat kepadatan yang tinggi (berdesakan), apalagi dengan kebijakan Fauzi Bowo yang memperbolehkan kendaraan lain melintasi jalur busway. Busway yang diklaim sebagai sarana transportasi massal-cepat itupun semakin minim sanjungan. Terbukti, hasil riset tim Japan International Cooperation Agency (JICA) menyatakan bahwa perpindahan pengguna kendaraan pribadi menjadi pengguna busway hanya mencapai 14%. Di sisi lain, Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) menargetkan mampu menjual sekiar 420 ribu unit kendaraan setahunnya. Ini berarti masyarakat Ibukota tidak memiliki apresiasi yang baik terhadap busway sebagai tawaran para pengurus Ibukota (baca: Pemprov DKI Jakarta). Melihat dari sejarahnya pun, pola transportasi yang paling tepat untuk diterapkan di kota seperti Jakarta adalah transportasi yang bersiafat massal, yang mampu mengmindahkan banyak orang sekaligus dalam waktu yang relatif singkat, cepat, dan aman. Namun sayangnya hal ini tidak disadari oleh pengambil kebijakan ibukota di masa lampau. Bertuntungnya, pemerintah saat ini muali kembali ke arah kebjikan yang sesuai. Tren yang berkembang akhir-akhir adalah pengembangan sistem transportasi massal yang terpadu di DKI Jakarta. Hal ini sudah dimulai sejak diluncurkannya program Busway oleh gubernur Sutiyoso beberapa tahun yang lalu. Seajatinya pembangunan infrasturktur transportasi tidak dapat dilakukan dalam setahun dua tahun. Perlu kebijakan yang berkesinambungan agar masalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Pembangunan mass rapid transit(MRT) beserta sistem yang mendukungnya adalah solusi jangka yang harus terus diupayakan. Jakarta dalam hal ini sudah memiliki master plan untuk mengintegrasikan sistem busway, monorel, shelter bus, serta kereta listrik, sebagai MRT andalannya dimasa datang. Dengan berbagai kekurangannya, program busway dan kereta listrik bagaimanapun telah menjadi prioneer MRT yang harus terus didukung dan diperjuangkan. Diamping itu, dalam tanggung-jawabnya melayani kebutuhan publik Ibukota Negara. Dalam keseriusan membangun sistem transportasi massal-cepat, pengelola transportasi Ibukota (juga Indonesia) pun harus menguasai teknologi transportasi. Konsekuensinya adalah pengembangan industri transportasi yang mandiri. Untuk pengembangan sistem transportasi jangka panjang, hal ini akan lebih efisien daripada terus menerus melakukan ’impor’ teknologi dan pemeliharaannya yang sangat mahal. Namun, tersedianya sarana transportasi massal-cepat tidak bisa berdiri sendiri dalam menjamin efek yang diharapkan. Dibutuhkan strategi untuk ’mengarahkan’ pilihan masyarakat menggunakan sarana transportasi massal. Strategi ini akan berusaha melepaskan masyarakat dari penggunaan kendaraan pribadi, sehingga sistem transportasi massal-cepat dapat berjalan efektif. Secara garis besar, aplikasi kebijakan insentif-disinsentifikasi pajak kendaraan dan kuota kepemilikan adalah strategi yang tegas bagi para pengguna kendaraan pribadi. Selain dapat memaksimalkan penggunaan sarana transportasi massal-cepat oleh sebanyak-banyaknya penduduk, dana yang terkumpul dari strategi ini juga dapat dialokasikan untuk terus membangun sistem transportasi massal-cepat yang telah diproyeksikan. Berikut ini adalah beberapa aplikasi diatas: “Congestion Charging” atau pajak kemacetan adalah pengenaan pajak pada kendaraan yang melewati wilayah-wilayah tertentu di dalam sebuah kota, dengan klasifikasi jenis kendaraan tertentu dan pada waktu tertentu. London, Trondheim, Durham dan beberapa kota lainnya di Eropa menggunakan strategi ini. Pembayaran pajak dapat dilakukan melalui account khusus atau tempat lainnya. Kendaraan yang melewati zona tersebut dimonitor oleh kamera khusus yang merekam plat mobil yang lewat. Semua uang yang terkumpul dari congestion charging diinvestasikan untuk membangun fasilitas sistem transportasi kota. Kemudian juga ada strategi penerapan peraturan pembatasan usia kendaraan dan kelaikan operasional kendaraan bermotor. Dengan begitu, pertumbuhan jumlah kendaraan dalam kurun waktu tertentu dapat dikontrol. Cara ini juga bisa diparalelkan dengan pengenaan pajak tinggi kepada para pemilik kendaraan lebih dari satu. Strategi selanjutnya adalah sistem kuota (Vehicles Quota System-VQS). Dengan sistem kuota maka tingkat pertumbuhan kendaraan dapat ditekan sekecil mungkin. Di Singapura, cara ini mampu menekan pertumbuhan kendaraan sebesar 3% per tahun. Selain itu dapat diberlakukan pola Mobil Liburan (Weekend Car-WEC). Mobil-mobil ini dibatasi penggunaannya hanya pada akhir pekan atau di luar jam sibuk (peak hours). Kompensasinya, setiap pemilik kendaraan WEC akan memperoleh potongan biaya tambahan pendaftaran kendaraan atau potongan biaya pajak. Sedikit paparan diatas adalah pilihan bagi pengelola Ibukota untuk mengatasi masalah transportasi. Di samping itu, dalam mengambil keputusan kebbijkan transportasi, analisis yang tidak boleh dilupakan adalah analisi permintaan terhadap transportasi itu sendiri. Bisa saja Jakarta sudah mempunyai MRT dan sistem transportasi yang terpadu. Busway, momorel, Kereta Listrik serta sistem shelter yang memadai, akan tetapi permintaan akan transportasi tetap saja besar. MRT tetap saja penuh dan tidak nyaman, Jakarta tetap macet karena masih banyak kendaraan-kenadraan pribadi yang tidak mampu diakomodir oleh sistem MRT. Masyarakat masih tetap saja mengeluh bahwa persoalan transportasi belum selesai sehingga pengurangan permintaan transportasi adalah sesuatu yang harus kita upayakan. Salah satu caranya adalah dengan memeratakan pertumbuhan ekonomi di Jakarta ke daerah sekitarnya. Sehingga orang tidak perlu berbondong-bondong mendatangi Jakarta hanyanuntuk mencari sesuap nasi. Alternatif lainnya dalah dengan membuat kawasan-kawasan terpadu di Jakarta. Dimana, tempat-tempat seperti pasar, tempat rekreasi, rumah sakit di satukan dalam satu kawasan yang dekat dengan warga sehingga untuk mencapai tampat itu masyarakat tidak perlu melakukan perjalanan jauh. Sebagai penutup, masalah transportasi adalah masalah yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan usaha pemerintah saja. Jika sekarang kita berandai kekuatan Pemprov DKI Jakarta mampu merealisir pembangunan sistem transportasi massal-cepat yang efisien, accessible, dan ‘hijau’ untuk seluruh penghuni wilayah, Jakarta tempo doeloe yang dilukiskan dengan bangunan tua, pepohonan, trem, dan sepeda rasanya dapat menjelma menjadi Jakarta masa depan yang dihiasi dengan senyum penduduk Ibukota disepanjang jalan yang lancar dan teratur. Semoga. Tentu saja dengan peran aktif kita semua, warga masyarakat DKI Jakarta.

Pembatasan BBM bersubsidi mungkin suatu jalan yang tepat untuk mengontrol pemberian subsidi yang kurang tepat sasaran. Ya kita tahu lah bahwa sebenarnya banyak ditemui di SPBU banyak juga mobil2 mewah yang masih menggunakan bahan bakar premium yang besubsidi. Padahal sasaran dari BBM itu sendiri kepada orang yang tidak mampu. Walaupun terpampang tulisan yang besar disetiap SPBU bahawa bahan bakar bersubsidi untuk golongan tidak mampu, nyatanya tetap saja dipakai juga. Nah penerapan pembatasan ini apa mampu nantinya menanggulangi salah sasarannya BBM bersubsidi?? Pembuatan peraturan pemerintah maupun ketetapan presiden memang gampang. Tapi nantinya penerapan dilapangan yang susah menurut saya. Tim yang dibentuk oleh pemerintah harus mengawasi ribuan SPBU yang ada dijawa dan bali, tentunya itu juga bukan hal yang mudah. Ini bisa saja membuka celah bagi pihak2 yang tidak bertanggung jawab. Kita tidak bisa pungkiri masih adanya warisan kolonial “ada uang anda senang” ya sudah merupakan rahasia umum. Belum lagi adanya penimbunan yang bisa saja terjadi bila penerapan pembatasan subsidi ini diberlakukan. :shock: banyak sekali permasalahan yang kemungkinan bisa timbul. Sebenarnya permasalahan tidak tepatnya sasaran BBM bersubsidi menurut saya adalah karena ketidak percayaan pemakai jalan dengan transportasi umum. Kata seperti aman, nyaman dan tepat waktu sepertinya susah untuk didapat dari sistem transportasi sekarang ini. Miris juga kemarin2 ada berita pemerkosaan yang terjadi dalam angkot. :( ngeri juga. Belum lagi keterlambatan dari alat transportasi publik yang lain. Dengan kejadian ini, bagaimana bisa mengurangi volume kendaraan??mending beli kendaraan pribadi dan mengisi bensin subsidi kan??kalau begini bagaimana bisa menepatkan sasaran dari BBM bersubsidi itu sendiri.. Perbaikan sistem jaringan transportasi publik memang tidaklah mudah dan segera bisa terwujud. Perlu waktu yang lama dan kerjasama dengan berbagai pihak termasuk pengguna transportasi itu sendiri. Tapi kapan lagi dimulainya kalau tidak dilakukan dengan segera. Tidak hanya perbaikan di sisi infrastruktur transportasinya saja tapi kesadaran tentang memakai barang milik umum bisa dimulai dengan diri sendiri dengan menggunakannya dengan seksama dan tidak merusaknya. Ok itulah sekelumit dari saya, semoga berguna.. :)

ipu 6;Sejarah Transportasi Jakarta : Mencari Solusi Alternatif Permasalahan Transportasi Ibu Kota

Jakarta kota metropolitan terbesar dan terpadat di Asia Tenggara. Kota yang dihuni oleh sekitar 8 juta jiwa penduduknya dengan segala permasalahan dan kesemerawutannya. Kota dengan sejarah masa lalu yang kompleks dan kondisi sosial budaya yang sangat beragam tentu dengan sederet permasalahannya. Salah satu masalah yang cukup krusial dan penting adalah masalah transportasi kota. Selama ini Jakarta dikenal sebagai metropolitan terburuk dalam mengatur transportasi warganya yang mencapai 8 juta jiwa. Kemacetan selalu terjadi dimana-mana. Bahkan menurut situs ensiklopedia terkenal, Wikipedia, Jakarta memiliki lebih dari 100 titik rawan kemacetan yang tersebar merata diseluruh wilayah kota. Fasilitas dan Infrastrukur transportasi yang kurang menjadi salah satu penyebab utama terjadinya kemacetan tersebut. Jakarta belum mempunyai sistem serta infrasturktur transportasi massal yang terpadu. Transportasi yang bisa melayani kebutuhan perpindahan warganya dengan cepat, aman, murah, nyaman dan massal. Disamping itu keberadaan kantong-kantong penduduk di kota-kota satelit Jakarta yang setiap harinya melakukan perjalanan menuju Jakarta ikut memperparah keruwetan transportasi di kota Jakarta. Komuter yang berasal dari Depok, Tanggerang, Bogor serta Bekasi tersebut semakin menambah arus kendaraan di dalam kota Jakarta yang sudah sedemikian padat. Sebagai akibatnya, kemacetan yang parah tak terhindarkan di jalan-jalan utama menuju kota-kota tersebut. Masalah transportasi Jakarta selanjutnya adalah tata ruangan Jakarta yang sedemikan rumit dan kompleks. Tata ruangan yang tidak mengindahkan tata guna lahan menyebakan semakin banyaknya transportasi atau perpindahan yang harus dilakukan warga ibu kota. Padahal,s eperti kita ketahui bersama, pada dasarnya kebutuhan akan transportasi adalah kebutuhan sekunder manusia untuk memenuhi kebutuhan yang sebenarnya. Baik itu berupa barang maupun orang. Tata ruang yang buruk juga bisa menjadi titik pangkal kemacetan . Seperti misalnya tempat keluar parkir dari sebuah pusat perbelanjaan terkenal yang membuat macet jalanan atau kawasan disekitarnya. Selain itu masalah transportasi yang sangat krusial adalah pertumbuhan kendaraan pribadi yang mencapai 11% per tahun. Angka yang cukup fantastis bagi Jakarta yang hanya mempunyai 5000 km jalan raya (sudah termasuk jalan-jalan kecil dan jalan tol). Bahkan jika semua kendaraan yang ada di kota Jakarta keluar pada saat yang bersamaan maka bisa dipastikan seluruh jalan yang ada di Jakarta akan ditutupi oleh kendaraan tersebut. Mengapa kompleksitas masalah ini terjadi dan bagaimana solusinya? Untuk mencari solusi atas masalah transportasi Jakarta yang ada, disamping pendekatan kekinian dan kedisinian juga diperlukan pendekatan sejarah transportasi kota. Mengapa hal ini penting? Kita harus menyadari bahwa kondisi transportasi Jakata yang terjadi sekarang adalah akumulasi dari kebijakan-kebijakan transportasi di masa lampau. Bagaimana kota ini pertama kali mengatur transportasi penduduk dan barangnya? Dengan menggunakan moda apa mayoritas masyarakat melakukan perpindahan? Bagaimana sebenarnya blue print rancangan transportasi ibu kota? Apa yang telah dilakuakan pendahulu kita untuk memabangun trasnsportai yang ideal di kota pelabuhan ini? Selain itu, penting pula untuk diketahui sejarah Jakarta sejak kota ini pertama kali berdiri. http://taufiqsuryo.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce-284/plugins/wordpress/img/trans.gif Sejarah transportasi kota Jakarta bermula dari sebuah pelabuhan yang bernama Sunda Kelapa. Pelabuhan ini merupakan pelabuhan dari kerajaan Pajajaran. Sebelumnya merupakan milik kerajaan Tarumanegara yang dipakai untuk transportasi barang-barang dagangan dengan pedagang-pedagang dari India dan Cina. Sejak dulu Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang cukup strategis dan ramai. Maka tidak heran sejak dulu arus transportasi sudah sedemikian padat di pelabuhan ini. Sekitar tahun 1859, Sunda Kalapa sudah tidak seramai masa-masa sebelumnya. Akibat pendangkalan, kapal-kapal tidak lagi dapat bersandar di dekat pelabuhan sehingga barang-barang dari tengah laut harus diangkut dengan perahu-perahu. Oleh karena itu dibangunlah pelabuhan baru di daerah tanjung priok sekitar 15 km kearah timur dari pelabuhan sunda kalapa. Untuk memperlancar arus barang maka dibangun juga jalan kereta api pertama (1873) antara Batavia – Buitenzorg (Bogor). Empat tahun sebelumnya muncul trem berkuda yang ditarik empat ekor kuda, yang diberi besi di bagian mulutnya. Dari sejarah diatas bisa diambil kesimpulan bahwa sejak dulu kota Jakarta merupakan kota dengan arus perpindahan barang maupun orang yang cukup padat. Infrastruktur dasar perkotaannya pun merupakan infrastrukur transportasi seperti pelabuhan dan jalur kereta api. Perkembangan tranportasi kota Jakarta pun memasuki babak baru ketika daerah-daerah pemukiman muncul didaerah sekitar pelabuhan. Mulailah muncul jalan-jalan penghubung di daerah sekitar pelabuhan. Hingga zaman sebelum kemerdekaan , Jakarta sudah berubah menjadi sebuah kota yang modern yang kala itu bernama Batavia. Pada saat itu, tahun 1943 sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, ada angkutan massal yang disebut Zidosha Sokyoku (ZS). Jangan membayangkan bentuk kendaraan yang bermesin, angkutan tersebut berupa sebuah gerobak yang ditarik seekor sapi, bahkan ketika keadaan serba sulit karena perang sapi penariknya justru disembelih untuk dimakan. Selain itu sejak tahun 1910, Jakarta sudah mempunyai jaringan trem. Trem adalah kereta dalam kota yang digerakkan oleh mesin uap. Trem merupakan angkutan massal pertama yang ada di Jakarta. Ketika itu Jaringan trem di Jakarta sudah melayani arus perpindahan dari pelabuhan hingga kampung melayu. Sampai saat ini peninggalan jejak trem di Jakarta masih bis kita lihat diantaranya di museum fatahillah serta di Jembatan bekas trem yang milintas sungai Ciliwung di daerah Raden Saleh atau Dipo trem yang sekarang ditempati PPD sebagai dipo di daerah Salemba. Dapat disimpulaan ketika itu transportasi massal menjadi pilihan utama masyarakat untuk berpergian di dalam kota. Kebijakan mulai beralih kepada penggunaan kendaraan pribadi sejak taun 1960an ketika presiden Sukarno memerintahkan penghapuisan trem dari Jakarta dengan alasan bahwa trem sudah tidak cocok lagi untuk kota sebesar jakarta. Sayangnya ketika trem dihapus, sebelumnya tidak diimbangi dengan jumlah bus. Ketika itu politik kita yang ‘progresif revolusioner’ berpihak ke Blok Timur yang sedang berkonfrontasi dengan Blok Barat yang dijuluki Nekolim (neokolonialisme, kolonialisme, dan imperialisme). Tidak heran bus-bus yang beroperasi di jakarta berasal dari Eropa Timur, seperti merek Robur dan Ikarus. Akan tetapi, karena jumlahnya tidak banyak, opletlah yang mendominasi angkutan diJ Jakarta . Sampai-sampai beroperasi ke jalan-jalan protokol, di samping becak untuk jarak dekat. Waktu itu oplet (dari kata autolet) bodinya terbuat dari kayu yang dirakit di dalam negeri. Sedangkan mesinya dari mobil tahun 1940-an dan 1950-an, seperti merek Austin dan Moris Minor (Inggris) serta Fiat (Italia). Di Jakarta juga disebut ostin, mengacu nama Austin, yang sisa-sisanya kini dapat dihitung dengan jari. Kemudian pada tahun 1970an terjadi peningkatan jumlah kendaraaan secara signifikan di Jakarta. Terjadilah revolusi transportasi yang melanda Jakarta. Masyarakat berlomba-lomba untuk memiliki kendaraaan pribadi. Seakan-akan belum menjadi orang kaya jika belum mempunyai mobil pribadi. Ditunjang oleh sistem pengkreditan yang luar biasa mudah, membuat ,aysrakat berlomba-lomba memiliki mobil pribadi. Pemerintah pun seakan mendukung program ‘pembelian kendaraan pribadi’ ini. Jalan-jalan utama diperlebar, jalur-jalur ditambah, dan kebijakan-kebijakan lain yang semakin memanjakan penggunaan mobil pribadi. Akmumulasi akibat dari kebijakan ini adalah keadaan Jakarta seperti sekarang. Dimana kapasitas jalan sudah tidak mampu lagi menampung arus kendaraan yang melintas diatasnya smentra pertumbuhan pemilikan kendaraan tetap saja tinggi. Sebenarnya kebijakan transportasi Jakarta, dalam satu dasawarsa terakhir, sudah memasuki tahapan baru. Pemerintah mulai menyadari bahwa untuk kota seperti Jakarta, penggunaan transportasi yang bersifat massal lebih menguntungkan dibandingkan transportasi yang berbasis kendaraan pribadi. Hal ini bisa kita lihat pada kebijakan-kebijakan transportasi Jakarta dalam satu dasawarsa terakhir ini uyang mulai menunjukkan tren untuk mengurangi jumlah kendaran pribadi dan memperbaiki sistem angkutan umum di kota Jakarta. Di masa Gubernur Surjadi Soedirdja, Kepala DLLAJ DKI Jakarta J. P. Sepang diperintahkan untuk memberlakukan Sistem Satu Arah (SSA) pada sejumlah ruas jalan. Langkah ini meniru sistem di Singapura. Pemda DKI Jakarta di masa itu juga membuat jalur khusus bagi bus kota dengan cat warna kuning, termasuk membangun sejumlah halte bus dengan sarana telepon umum (Halte 2000). Lagi-lagi sayang, hal tersebut akhirnya juga diiringi dengan antrean kendaraan yang makin memanjang di jalan-jalan raya dan bus kota yang tidak juga tertib dalam menaik-turunkan penumpang. Kemudian, Pemprov DKI Jakarta saat itu juga mempraktekkan sistem pengaturan lampu lalu-lintas kawasan (Area Traffic Control System-ATSC) pada 110 persimpangan yang bisa disaksikan setiap sore melalui tayangan Metro TV. Tapi sistem adopsi Jerman itu tidak efektif untuk mengatasi persoalan transportasi di Jakarta, kalah oleh hujan lebat yang turun dan berhasil mematikan lampu lalu lintas secara tiba-tiba. Terakhir, di akhir masa kepemimpinan Sutiyoso, wajah Ibukota dihiasi dengan bus TransJakarta yang menjadi tulang punggung konsep sistem transportasi makro/massal (baca: busway). Dengan 7 koridor efektif dan 329 armada bus, busway justru menjadi masalah baru. Beberapa catatan yang menyebabkan masalah dapat dengan mudah diidentifikasi, seperti pembangunan koridor di bahu jalan umum tanpa penambahan luas-panjang dan jaringan jalan, serta jumlah armada yang hanya mampu menyerap 210.000 penumpang per hari (berbanding 8,96 juta penduduk) dengan tingkat kepadatan yang tinggi (berdesakan), apalagi dengan kebijakan Fauzi Bowo yang memperbolehkan kendaraan lain melintasi jalur busway. Busway yang diklaim sebagai sarana transportasi massal-cepat itupun semakin minim sanjungan. Terbukti, hasil riset tim Japan International Cooperation Agency (JICA) menyatakan bahwa perpindahan pengguna kendaraan pribadi menjadi pengguna busway hanya mencapai 14%. Di sisi lain, Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) menargetkan mampu menjual sekiar 420 ribu unit kendaraan setahunnya. Ini berarti masyarakat Ibukota tidak memiliki apresiasi yang baik terhadap busway sebagai tawaran para pengurus Ibukota (baca: Pemprov DKI Jakarta). Melihat dari sejarahnya pun, pola transportasi yang paling tepat untuk diterapkan di kota seperti Jakarta adalah transportasi yang bersiafat massal, yang mampu mengmindahkan banyak orang sekaligus dalam waktu yang relatif singkat, cepat, dan aman. Namun sayangnya hal ini tidak disadari oleh pengambil kebijakan ibukota di masa lampau. Bertuntungnya, pemerintah saat ini muali kembali ke arah kebjikan yang sesuai. Tren yang berkembang akhir-akhir adalah pengembangan sistem transportasi massal yang terpadu di DKI Jakarta. Hal ini sudah dimulai sejak diluncurkannya program Busway oleh gubernur Sutiyoso beberapa tahun yang lalu. Seajatinya pembangunan infrasturktur transportasi tidak dapat dilakukan dalam setahun dua tahun. Perlu kebijakan yang berkesinambungan agar masalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Pembangunan mass rapid transit(MRT) beserta sistem yang mendukungnya adalah solusi jangka yang harus terus diupayakan. Jakarta dalam hal ini sudah memiliki master plan untuk mengintegrasikan sistem busway, monorel, shelter bus, serta kereta listrik, sebagai MRT andalannya dimasa datang. Dengan berbagai kekurangannya, program busway dan kereta listrik bagaimanapun telah menjadi prioneer MRT yang harus terus didukung dan diperjuangkan. Diamping itu, dalam tanggung-jawabnya melayani kebutuhan publik Ibukota Negara. Dalam keseriusan membangun sistem transportasi massal-cepat, pengelola transportasi Ibukota (juga Indonesia) pun harus menguasai teknologi transportasi. Konsekuensinya adalah pengembangan industri transportasi yang mandiri. Untuk pengembangan sistem transportasi jangka panjang, hal ini akan lebih efisien daripada terus menerus melakukan ’impor’ teknologi dan pemeliharaannya yang sangat mahal. Namun, tersedianya sarana transportasi massal-cepat tidak bisa berdiri sendiri dalam menjamin efek yang diharapkan. Dibutuhkan strategi untuk ’mengarahkan’ pilihan masyarakat menggunakan sarana transportasi massal. Strategi ini akan berusaha melepaskan masyarakat dari penggunaan kendaraan pribadi, sehingga sistem transportasi massal-cepat dapat berjalan efektif. Secara garis besar, aplikasi kebijakan insentif-disinsentifikasi pajak kendaraan dan kuota kepemilikan adalah strategi yang tegas bagi para pengguna kendaraan pribadi. Selain dapat memaksimalkan penggunaan sarana transportasi massal-cepat oleh sebanyak-banyaknya penduduk, dana yang terkumpul dari strategi ini juga dapat dialokasikan untuk terus membangun sistem transportasi massal-cepat yang telah diproyeksikan. Berikut ini adalah beberapa aplikasi diatas: “Congestion Charging” atau pajak kemacetan adalah pengenaan pajak pada kendaraan yang melewati wilayah-wilayah tertentu di dalam sebuah kota, dengan klasifikasi jenis kendaraan tertentu dan pada waktu tertentu. London, Trondheim, Durham dan beberapa kota lainnya di Eropa menggunakan strategi ini. Pembayaran pajak dapat dilakukan melalui account khusus atau tempat lainnya. Kendaraan yang melewati zona tersebut dimonitor oleh kamera khusus yang merekam plat mobil yang lewat. Semua uang yang terkumpul dari congestion charging diinvestasikan untuk membangun fasilitas sistem transportasi kota. Kemudian juga ada strategi penerapan peraturan pembatasan usia kendaraan dan kelaikan operasional kendaraan bermotor. Dengan begitu, pertumbuhan jumlah kendaraan dalam kurun waktu tertentu dapat dikontrol. Cara ini juga bisa diparalelkan dengan pengenaan pajak tinggi kepada para pemilik kendaraan lebih dari satu. Strategi selanjutnya adalah sistem kuota (Vehicles Quota System-VQS). Dengan sistem kuota maka tingkat pertumbuhan kendaraan dapat ditekan sekecil mungkin. Di Singapura, cara ini mampu menekan pertumbuhan kendaraan sebesar 3% per tahun. Selain itu dapat diberlakukan pola Mobil Liburan (Weekend Car-WEC). Mobil-mobil ini dibatasi penggunaannya hanya pada akhir pekan atau di luar jam sibuk (peak hours). Kompensasinya, setiap pemilik kendaraan WEC akan memperoleh potongan biaya tambahan pendaftaran kendaraan atau potongan biaya pajak. Sedikit paparan diatas adalah pilihan bagi pengelola Ibukota untuk mengatasi masalah transportasi. Di samping itu, dalam mengambil keputusan kebbijkan transportasi, analisis yang tidak boleh dilupakan adalah analisi permintaan terhadap transportasi itu sendiri. Bisa saja Jakarta sudah mempunyai MRT dan sistem transportasi yang terpadu. Busway, momorel, Kereta Listrik serta sistem shelter yang memadai, akan tetapi permintaan akan transportasi tetap saja besar. MRT tetap saja penuh dan tidak nyaman, Jakarta tetap macet karena masih banyak kendaraan-kenadraan pribadi yang tidak mampu diakomodir oleh sistem MRT. Masyarakat masih tetap saja mengeluh bahwa persoalan transportasi belum selesai sehingga pengurangan permintaan transportasi adalah sesuatu yang harus kita upayakan. Salah satu caranya adalah dengan memeratakan pertumbuhan ekonomi di Jakarta ke daerah sekitarnya. Sehingga orang tidak perlu berbondong-bondong mendatangi Jakarta hanyanuntuk mencari sesuap nasi. Alternatif lainnya dalah dengan membuat kawasan-kawasan terpadu di Jakarta. Dimana, tempat-tempat seperti pasar, tempat rekreasi, rumah sakit di satukan dalam satu kawasan yang dekat dengan warga sehingga untuk mencapai tampat itu masyarakat tidak perlu melakukan perjalanan jauh. Sebagai penutup, masalah transportasi adalah masalah yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan usaha pemerintah saja. Jika sekarang kita berandai kekuatan Pemprov DKI Jakarta mampu merealisir pembangunan sistem transportasi massal-cepat yang efisien, accessible, dan ‘hijau’ untuk seluruh penghuni wilayah, Jakarta tempo doeloe yang dilukiskan dengan bangunan tua, pepohonan, trem, dan sepeda rasanya dapat menjelma menjadi Jakarta masa depan yang dihiasi dengan senyum penduduk Ibukota disepanjang jalan yang lancar dan teratur. Semoga. Tentu saja dengan peran aktif kita semua, warga masyarakat DKI Jakarta.

ipu 7;Transportasi

Transportasi adalah pemindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraan yang digerakkan oleh manusia atau mesin. Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Di negara maju, mereka biasanya menggunakan kereta bawah tanah (subway) dan taksi. Penduduk disana jarang yang mempunyai kendaraan pribadi karena mereka sebagian besar menggunakan angkutan umum sebagai transportasi mereka. Transportasi sendiri dibagi 3 yaitu, transportasi darat, laut, dan udara. Transportasi udara merupakan transportasi yang membutuhkan banyak uang untuk memakainya. Selain karena memiliki teknologi yang lebih canggih, transportasi udara merupakan alat transportasi tercepat dibandingkan dengan alat transportasi lainnya. Daftar isi [sembunyikan] * 1 Darat * 2 Laut * 3 Udara * 4 Lihat pula * 5 Pranala luar [sunting] Darat * Sarana o Angkutan jalan o Kereta api o Lainnya – Angkutan darat selain mobil, bus ataupun sepeda motor yang lazim digunakan oleh masyarakat, umumnya digunakan untuk skala kecil, rekreasi, ataupun sarana sarana di perkampungan baik di kota maupun di desa. + sepeda + becak + bajaj + bemo + helicak + delman * Prasarana o Jalan dan jembatan o Rel o Terminal o Stasiun kereta api o Halte o ATCS [sunting] Laut * Sarana o Kapal o Feri o Sampan * Prasarana o Pelabuhan o Galangan kapal [sunting] Udara * Sarana o Pesawat * Prasarana o Bandar udara [sunting] Lihat pula * Infrastruktur * SAR [sunting] Pranala luar